1.1 Seni Tarawangsa
Seni Jentreng atau Tarawangsa adalah kesenian yang tumbuh dari pola
kehidupan bertani masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang. Seni
Jentreng adalah upacara ritual yang berhubungan dengan magis religius
untuk menghormati Dewi Sri. Masyarakat Rancakalong menyebutnya dengan
nama Kersa Nyai dengan tujuan supaya Kersa Nyai tetap tinggal dan betah
di Rancakalong. Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang
menempatkan Seni Jentreng sebagai media pokok dalam penyelenggaraan
upacara Nyalin atau panen padi.
Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian Jentreng mulai hidup.
Namun asal mula kesenian Jentreng menurut cerita yang beredar di
masyarakat adalah, konon pada jaman baheula, di Tatar Sunda tidak ada
bibit padi. Sehingga masyarakat Sunda pada waktu itu tidak dapat
mengkonsumsi beras untuk makan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan
perutnya, mereka mengganti beras dengan biji hanjeli.
Masyarakat Sunda pada masa itu sering mengamen ke daerah-daerah lain.
Mereka pergi mengamen sampai ke wilayah Mataram. Kemungkinan besar
Mataram pada waktu itu adalah daerah penghasil beras yang terkemuka.
Muncul keinginan pada si pengamen atau penabuh untuk mendapatkan bibit
padi sehingga dapat ditanam di daerahnya. Keinginan tersebut mendorong
si penabuh untuk membawa bibit padi dari Mataram untuk dibawa ke
daerahnya. Namun usahanya tersebut beberapa kali mengalami kegagalan
karena diketahui penjaga gerbang Mataram. Untuk ketiga kalinya penabuh
mencoba membawa bibit padi dan disembunyikan dalam alat musik yang
dibawanya, yaitu Tarawangsa. Kali ini usahanya berhasil dan dia dapat
menanam padi tersebut di Tatar Sunda. Sejak saat itu Tatar Sunda menjadi
salah satu penghasil beras yang utama.
Untuk mengungkap rasa syukurnya, masyarakat Sunda setiap selesai
panen melakukan upacara ritual untuk menghormati Dewi Sri. Pada
masyarakat Rancakalong, upacara itu disebut Jentreng atau Tarawangsa.
Tarawangsa adalah instrumen gesek yang bentuknya mirip rebab.
Resinatornya terbuat dari kayu berleher panjang dan bersenar 2 utas.
Acara tersebut diisi dengan tari-tarian yang diiringi dengan petikan
alat musik Tarawangsa dan Kecapi. Seni Jentrengpun dipakai untuk
memperingati hari-hari besar Islam. Sampai sekarang kesenian Jentreng
masih tetap hidup, meskipun tidak berkembang luas seperti tari pergaulan
lainnya. Masih terpeliharanya kesenian ini, karena diwariskan secara
turun temurun oleh saehu (pemimpin kelompok) kepada keturunannya. Adapun
ketidak berkembangannya, karena kesenian ini tidak dapat dipelajari
seperti Jaipongan atau tari pergaulan karena masih kuat unsur religius
didalamnya.
Sumber: Majalah Nuansa Wisata
1.2 Seni Tari Jaipong
Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas
seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian
rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan
mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada
Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas
cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang
kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebelum bentuk seni
pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi
bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan
merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan
tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran.
Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan
upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam
seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum
pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh
masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916.
Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh
unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua
buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan
gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum
penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan
memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang
berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih
perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai
Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang)
dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun
peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya
(Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam
Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa
pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara
koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu)
yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan
beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar
penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan
selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban
dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada
awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian
itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira
masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi
koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer
dengan sebutan Jaipongan.
[sunting] Berkembang
Karya Jaipongan
pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus
Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari
putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul
beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti
Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian
tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan
yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama
Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan
pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari
kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di
media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan
oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih
aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang
perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para
penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan,
dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu
undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini
dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi
dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa
Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri
khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris,
semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu
tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi
pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga
ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni
Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada
Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya,
Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang
Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya
dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi
tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5)
Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton
(bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan
diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton
(bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada
taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya
seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut,
Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari
tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal
antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna,
Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan
Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu
identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara
penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke
Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian
pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi
dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi
kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni
pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan
hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang
dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang
telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni
1.3 Seni Celempung
Kesenian Celempung merupakan kesenian tradisional
sunda yang seluruh peralatannya menggunakan bahan dari bambu (bambu
gombong.red), pada perkembangannya kesenian ini sudah dipadu laraskan dengan
alat-alat musik modern sehingga musik yang dihasilkan
tidak lagi sebagai layaknya seni tradisional.
Celempung adalah alat musik pukul
terbuat dari bambu, dimainkan dengan cara dipukul dengan alat bantu pemukul,
berperan seperti kendang sebagai pengatur irama. Penyajian alat musik celempung
dinamakan Celempungan.
Pertunjukannya dilengkapi alat musik (waditra) Kecapi, rebab, suling dan sebuah
goong buyung. Celempung merupakan alat bunyi yang ditiru dari Icikibung, yaitu
permainan tradisional berupa pukulan telapak tangan dan gerak sikut di
permukaan air,sehingga menghasilkan bunyi unik. Dari bunyi-bunyian pada
permainan Icikibung, ditiru lalu dipindahkan pada alat musik dari bambu yang
disebut Celempung.
Bahan dasar alat musik celempung yang berbentuk bulat terbuat dari bambu,
sedang yang berbentuk segi enam dan segi delapan terbuat dari kayu. Alat
pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau
benda tipis agar menghasilkan suara nyaring.
Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur
sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara
yang diinginkan pemain musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan
untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari
bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka
lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara
celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik.
Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel
celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter.
1.4 Seni Mamaos Cianjuran
TEMBANG CIANJURAN
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Di
tempat kelahirannya, Cianjur, sebenarnya nama kesenian ini adalah
mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan
dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda
sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan
alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab.
Sejarah
Mamaos
terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat
(1834—1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di
sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal
dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh
kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari
oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos
wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh,
Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.
Bahan mamaos berasal dari berbagai
seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang
macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni
pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu
Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan
lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya
menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal
keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada
akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan.
Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.
Pada
masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni
Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun.
Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun.
Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
Pada
masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864—1910) kesenian
mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja
(1853—1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran
ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke
kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA.
Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920—1931 &
1935—1942).
tika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang
menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur
(dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama
tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari
Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an
menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan tembang Cianjuran.
Pertunjukan
Sebenarnya
istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh
(tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca,
yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku
wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan
teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog
(degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta mandalungan.
Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam
beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan
rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai
wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak
menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula,
serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.
Lagu-lagu dalam wanda
papantunan di antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan,
Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup, Balagenyat, Putri Layar,
Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, dsb. Sementara dalam
wanda jejemplangan di antaranya terdiri dari Jemplang Panganten,
Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig,
dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung,
Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung
dan sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom
Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag,
Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula
Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda
kakawen di antaranya: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil,
Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di antaranya: Budak Ceurik,
Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan,
Selabintana, Soropongan, dsb.
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai
musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos
sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi
seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian.
Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan,
khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat.
1.5 Kiliningan
Seperangkat
gamelan bersurupan salendro disertai dua orang juru sekar yang terdiri
dari pesinden dan wira swara, jika ditampilkan secara khusus disebut
kliningan.
Seni
Kliningan masih berperan dalam kehidupan kesenian tradisi di Jawa
Barat. Kalaupun agak jarang yang secara khusus menampilkan seni
Kliningan, namun materi kesenian ini akan selalu tampil dalam pergelaran
seni Wayang Golek Purwa dalam bentuk sejak kiliningan.
Kilining
adalah nama salah satu waditra dalam seni Kiliningan. Bentuk Kilining
seperti bentuk Gender (waditra dari gamelan Jawa).Walaupun
waditra kilining tersebut tidak digunakan dalam penampilannya, nama
kesenian itu tetap saja disebut kiliningan, sekalipun tanpa waditra
kiliningan. Seni
Kiliningan tergolong seni karawitan sekar gending. Itulah sebabnya juru
kawih sangat memegang peranan dalam seni Kiliningan. Bagi generasi tua
yang pernah mengalami kejayaan Kiliningan pada sekitar tahun 60-an,
amsing-masing akan mempunyai sinden favorit antara dua idola masyarakat,
yaitu Upit Sarimanah dan Titim Fatimah.
1.6 Rengkong (Kesenian Tradisional Masyakat Kota Cianjur)
Asal-usul
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam
Kabupaten Cianjur.
Masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan pada umumnya
menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Di daerah ini, tepatnya di
Kampung Kandangsapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang ada sebuah
kesenian tradisional yang bernama “rengkong”. Asal-usul kesenian ini
bermula dari pemindahan padi huma (ladang) ke saung (lumbung padi).
Masyarakat Jawa Barat pada umumnya, termasuk masyarakat Warungkondang
(Cianjur), di masa lalu --sebelum mengenal bercocok tanam padi di sawah
(sistem irigarasi)-- pada umumnya adalah sebagai peladang (ngahuma) yang
berpindah-pindah. Padi ladang yang telah dituai tentunya tidak
dibiarkan di ladang, tetapi mesti dibawa pulang. Mengingat bahwa jarak
antara areal ladang dan pemukiman (rumah peladang) relatif jauh, maka
diperlukan suatu alat untuk membawanya, yaitu pikulan yang terbuat dari
bambu. Mereka menyebutnya sebagai “awi gombong”. Pikulan yang diberi
beban padi kurang lebih 25 kilogram yang diikat dengan injuk kawung
(tali ijuk) ini jika dibawa akan menimbulkan suara atau bunyi yang
dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan batang pikulan itu sendiri.
Dan, bunyi yang dihasilkan menyerupai suara burung rangkong (sejenis
angsa). Oleh karena itu, ketika bunyi yang dihasilkan dari gesekan
antara tali ijuk dan pikulan dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian
disebut “rengkong”.
Konon,
kesenian rengkong ini dikenal oleh masyarakat Warungkondang, khususnya
masyarakat Kampung Sukaratu, Desa Cisarandi, sejak akhir abad ke-19.
Adupan orang memperkenalkan dan atau mengembangkannya adalah Said
(almarhum). Di kampung lain (Sukaratu) dikembangkan oleh seorang
pengusaha genteng (1920--1967). Jadi, beban yang semula berupa padi
diganti dengan genteng. Sedangkan, di Kampung Kandangsapi dikembangkan
oleh Sopian sejak tahun 1967.
Peralatan
Peralatan
yang diperlukan untuk mewujudkan kesenian yang disebut sebagai rengkong
ini adalah peralatan yang menghasilkan bunyi rengkong itu sendiri
dengan berbagai ukuran (ada yang besar dan kecil). Peralatan itu terdiri
dan atau terbuat dari pikulan, tambang ijuk, padi, dan minyak tanah.
Pikulan terbuat dari dari sebatang awi gombong (bambu gombong) yang
tipis dengan panjang 2 atau 2,5 meter. Ujung yang satu dan lainnya
terbuka (tidak tertutup oleh ruas bambu). Kemudian, kurang lebih 30
centimeter dari ujung-ujungnya dilubangi (menyerupai kentongan)
sepanjang kurang lebih 38 centimeter. Tambang ijuk yang panjangnya 2
sampai 2,5 meter berfungsi sebagai pengikat padi padi yang akan
digantungkan pada sebatang awi gombong yang berfungsi sebagai pikulan.
Kemudian, padi yang beratnya 20—25 kilogram sebagai beban pikulan. Lebih
dari itu dikhawatirkan pikulan akan patah. Dan, minyak tanah berfungsi
sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan, sehingga gesekan
menghasilkan bunyi yang nyaring. Peralatan lainnya adalah dodog dan
angkung buncis.
Pemain dan Busana
Jumlah
pemain rengkong secara keseluruhan ada 14 orang dengan rincian: 2 orang
sebagai pembawa rengkong besar; 3 orang sebagai pembawa rengkong kecil;
4 orang sebagai pemain dodog, yaitu dodog: tingrit, tongsong,
brung-brung, dan gedeblag; dan pemain angklung buncis yang terdiri atas 5
orang. Sedangkan, busana atau pakaian yang dikenakan adalah pakaian
tradisional yang berupa: kampret atau pangsi, ikat kepala, dan sarung.
Pementasan
Kesenian
rengkong yang ada di Warungkondang ini biasanya hanya dipentaskan dalam
rangka memeriahkan hari-hari besar agama dan atau nasional (17
Agustusan) dalam bentuk arak-arakan. Dalam sebuah pementasan biasanya
pemain rengkong yang berjumlah 5 orang berada di barisan depan.
Kemudian, diikuti oleh para pemain angklung buncis dan para pemain
dodog. Namun demikian, adakalanya pementasan dikemas secara kolektif.
Artinya, para pemain boleh bergerak kemana saja (bercampur jadi satu).
Fungsi
Ketika
rengkong belum dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian, ia
semata-mata hanya berfungsi sebagai pengalihan perhatian dari seseorang
yang membawa beban (padi) dengan cara dipikul. Dalam hal ini gesekan
antara tali pikulan dan pikulan dimanfaatkan sebagai irama pengiring,
sehingga beban yang relatif berat tidak begitu dirasakan karena karena
diiringi oleh bunyi-bunyian yang khas. Dan, ketika rengkong menjadi
sebuah jenis kesenian fungsinya juga tidak jauh berbeda, yaitu sebagai
hiburan.
Sebagai
catatan, kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya ada di
daerah Cianjunr semata, tetapi juga di daerah Sukabumi dan Banten.
Bedanya, di kedua daerah tersebut rengkong tidak hanya berfungsi sebagai
hiburan, tetapi ada fungsi lain yang melatarbelakanginya, yaitu
ungkapan terima kasih kepada Dewi padi yang telah memberikan
kesejahteraan berupa panen yang melimpah. Oleh karena itu, rengkong
selalu ditampilkan dan kegiatan atau upacara penyimpanan padi ke
lumbung.
Nilai Budaya
Kesenian
adalah ekspresi jiwa manusia yang terwujud dalam keindahan. Oleh karena
itu, kesenian apapun termasuk kesenian rengkong yang didukung dengan
peralatan sederhana, mengandung nilai estetika (keindahan). Namun
demikian, jika dikaji secara teliti kesenian yang disebut sebagai
rengkong ini tidak hanya mengandung nilai estetika saja, tetapi ada
nilai-nilai lainnya yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan
dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja
keras dan kerjasama. Nilai kerja keras tercermin dalam membunyikan suara
khas yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan. Ini
artinya, padi dengan berat tertentu dipikul. Dan, ini tentunya
memerlukan kerja keras. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dalam
pementasan. Dalam hal ini tanpa kerja sama yang baik mustahil pementasan
dapat berjalan dengan baik dan lancar. Malahan, ada nilai